Prau adalah salah satu gunung yang terletak di kawasan Dieng, Jawa Tengah. Gunung ini memiliki ketinggian 2.565 mdpl dan menjadi pilihan favorit bagi para pendaki untuk menikmati keindahan sunrise. Jalur pendakian Prau Dieng cukup terkenal dengan keindahan panorama alam yang memukau, serta trek yang cukup menantang.
Kami melewati 2 jalur saat ke Prau yaitu jalur Patak Banteng untuk mendaki dan jalur Dieng saat turun gunung. Jika memilih jalur via Dieng, pendaki akan melewati berbagai area perkebunan saat mulai menanjak.
Selain itu, saat turun gunung Prau juga menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Sepanjang perjalanan, para pendaki disuguhkan dengan pemandangan yang sangat indah. Di samping itu, terdapat juga beberapa tempat istirahat yang sudah disediakan di sepanjang jalur pendakian.
Melihat keindahan sunrise di puncak Prau tentu akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Terlebih malam harinya kami sempat mengalami drama. Rasanya menjadi sesuatu yang luar biasa bisa menikmati matahari terbit di gunung Prau
Setelah drama kehilangan Keke selesai, saya pun menutup malam itu dengan makan yang banyak kemudian dilanjutkan tidur nyenyak. Malam itu, udara Prau tidak terlalu dingin. Padahal saya sudah membayangkan akan menggigil bila malam telah tiba. Mungkin ketika mencari Keke, saya sudah cukup menggigil. Sehingga, begitu masuk tenda malah terasa hangat. Saya pun tidak terlalu merapatkan sleeping bag. Malahan suami memilih gak pakai sleeping bag. Cukup pakai sarung aja.
[Silakan baca:
Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng]
Sunrise di Prau
Suami: "Bun, bangun. Mau lihat sunrise, gak?"
Jam di handphone menunjukkan pukul 05.00 wib. Ugh! Rasanya malas
sekali keluar tenda. Ngebayangin dinginnya udara luar bikin saya
malas. Enakan bergelung di dalam tenda aja dan melanjutkan tidur.
Kemudian saya berpikir kalau selama ini sering banget gagal melihat sunrise dimanapun. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh salah seorang penyiar radio ketika bertanya kepada para pendengarnya lebih suka sunrise atau sunset. Mayoritas mengatakan sunset. Dan penyiar tersebut menyimpulkan kalau banyak yang lebih memilih sunset karena malas bangun pagi. Terlepas dari apakah kesimpulannya benar atau tidak, setidaknya buat saya itu benar banget hahaha!
Kali ini gak boleh gagal lagi!
Akhirnya, saya memaksakan diri untuk bangun. Masa' mau gagal melulu. Padahal udah jalan jauh. Sayang aja kalau sampe gagal lagi.
Udara dingin langsung menerpa wajah saya yang gak tertutup apapun. Kalau badan hingga kaki sih hangat karena memakai outfit yang cukup tebal. Kerudung yang saya pakai pun mampu menghangatkan kepala. Tapi memang dibilang dingin banget juga enggak. Saya tidak memakai sarung tangan tapi gak bikin tangan saya berasa kedinginan banget. Biasa aja.
Kemudian saya berpikir kalau selama ini sering banget gagal melihat sunrise dimanapun. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh salah seorang penyiar radio ketika bertanya kepada para pendengarnya lebih suka sunrise atau sunset. Mayoritas mengatakan sunset. Dan penyiar tersebut menyimpulkan kalau banyak yang lebih memilih sunset karena malas bangun pagi. Terlepas dari apakah kesimpulannya benar atau tidak, setidaknya buat saya itu benar banget hahaha!
Kali ini gak boleh gagal lagi!
Akhirnya, saya memaksakan diri untuk bangun. Masa' mau gagal melulu. Padahal udah jalan jauh. Sayang aja kalau sampe gagal lagi.
Udara dingin langsung menerpa wajah saya yang gak tertutup apapun. Kalau badan hingga kaki sih hangat karena memakai outfit yang cukup tebal. Kerudung yang saya pakai pun mampu menghangatkan kepala. Tapi memang dibilang dingin banget juga enggak. Saya tidak memakai sarung tangan tapi gak bikin tangan saya berasa kedinginan banget. Biasa aja.
Kemeriahan tidak hanya dari warna-warni tendanya. Tapi juga dari
suasana yang sangat ramai. Benar-benar seperti pasar malam. Ada yang
nyanyi, tertawa ngakak, teriak-teriak, dan lain sebagainya. Untung
kami tidak mendirikan tenda di area ini
Entah pukul berapa para pendaki ini tiba. Seingat saya, sampai saya
mulai beristirahat baru ada 3 tenda. Salah satunya tenda kami.
Mas Ivan keluar dari tendanya ketika saya dan suami keluar dari tenda. Saya lihat di sekeliling sudah ada beberapa tenda lagi. Entah pukul berapa para pendaki itu datang. Seingat saya, saat kami di sana hingga saya tidur hanya ada 3 tenda. Tenda kami, mas Ivan, dan 1 tenda pendaki lain. Walaupun ketambahan beberapa tenda, tetap suasananya masih sepi. Gak seramai di tempat saya mengunggu Keke. Itu sih udah kayak pasar malam banget!
Menjelang sunrise
Saya hanya perlu mendaki bukit kecil di depan tenda untuk melihat sunrise. Gak sampai 5 menit sudah sampai di atas. Langsung tampak di depan mata kemegahan gunung Sindoro dan Sumbing. Dari kejauhan terlihat deretan gunung Merapi, Merbabu, Andong dan Ungaran.
Nai yang selalu menyiapkan makanan bagi kami. Bahkan sebelum pergi, dia
yang membuat daftar makanannya hehehe
Sambil nunggu sarapan siap, nge-drone dulu :D
Keke dan Nai tidak ikut melihat sunrise. Mereka berdua terlihat sangat
nyenyak. Saya pun gak mau membangunkan. Biar aja, lah. Biar mereka
beristirahat. Sayangnya, cuaca hari itu cukup mendung. Sunrise tidak
terlihat maksimal. Bahkan ketika kami memutuskan untuk turun gunung
sekitar pukul 10.00 wib, gunung Sindoro dan Sumbing sudah hampir tidak
terlihat karena kabut.
Suami: "Bun, mau turun lewat mana? Patak Banteng atau Dieng?"
Kalau lihat waktunya, saya tergiur untuk kembali melalui Patak Banteng. Tapi kalau mengingat kecuramannya, nyali saya langsung ciut. Naik aja ngeri apalagi turun? Khawatir kepleset mana jalurnya sempit. Hiii ...
Setelah sekitar 4 jam perjalanan, sampai juga di pos terakhir. Saya dan anak-anak menunggu di terminal, sedangkan suami dan mas Ivan naik angkot untuk mengambil kendaraan masing-masing yang parkir di pintu masuk Patak Banteng. Lumayan lama kami menunggu karena traffic dari dan ke Patak Banteng sangat macet.
Sambil menunggu, saya menguping obrolan para pendaki yang baru memulai pendakian di hari itu. Ternyata karena long weekend, macet total dimana-mana. Rata-rata menempuh perjalanan hingga 24 jam dari Jakarta menuju Dieng. Bahkan ada yang lebih dari 24 jam. Alhamdulillah, perjalanan kami menuju Dieng tidak selama ini walaupun agak mundur beberapa jam dari rencana awal sehingga membuat kami terpaksa mendaki sore hari.
Selesai dari pendakian gunung Prau, kami tidak langsung pulang. Perjalanan masih dilanjutkan menuju Sikunir. Banyak yang bilang golden sunrise di Sikunir sangat indah. Bukit Sikunir tempat kami melihat golden sunrise berlokasi di desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi di pulau Jawa.
Seperti apa ya rasanya tinggal di desa tertinggi? Dan bagaimana indahnya golden sunrise di bukit Sikunir? Bersambung ke cerita berikutnya, ya :)
Turun Gunung via Dieng
Suami: "Bun, mau turun lewat mana? Patak Banteng atau Dieng?"
Kalau lihat waktunya, saya tergiur untuk kembali melalui Patak Banteng. Tapi kalau mengingat kecuramannya, nyali saya langsung ciut. Naik aja ngeri apalagi turun? Khawatir kepleset mana jalurnya sempit. Hiii ...
Banyak yang menyebut area ini adalah Bukit Teletubies :D
Sering berhenti karena kaki terasa lumayan sakit
Paling gemeteran pas di sini. Jalurnya sempit, licin, gak ada yang
bisa dipegang :D
Entah kenapa area ini disebut Akar Cinta
Setelah sekitar 4 jam perjalanan, sampai juga di pos terakhir. Saya dan anak-anak menunggu di terminal, sedangkan suami dan mas Ivan naik angkot untuk mengambil kendaraan masing-masing yang parkir di pintu masuk Patak Banteng. Lumayan lama kami menunggu karena traffic dari dan ke Patak Banteng sangat macet.
Sambil menunggu, saya menguping obrolan para pendaki yang baru memulai pendakian di hari itu. Ternyata karena long weekend, macet total dimana-mana. Rata-rata menempuh perjalanan hingga 24 jam dari Jakarta menuju Dieng. Bahkan ada yang lebih dari 24 jam. Alhamdulillah, perjalanan kami menuju Dieng tidak selama ini walaupun agak mundur beberapa jam dari rencana awal sehingga membuat kami terpaksa mendaki sore hari.
Selesai dari pendakian gunung Prau, kami tidak langsung pulang. Perjalanan masih dilanjutkan menuju Sikunir. Banyak yang bilang golden sunrise di Sikunir sangat indah. Bukit Sikunir tempat kami melihat golden sunrise berlokasi di desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi di pulau Jawa.
Seperti apa ya rasanya tinggal di desa tertinggi? Dan bagaimana indahnya golden sunrise di bukit Sikunir? Bersambung ke cerita berikutnya, ya :)
Baru juga turun gunung udah ada pembicaraan mau ke gunung mana lagi.
Ke pantai, pliiiisss... Sesekali hehehe.
6 Comments
ini beneran jd pgn naik gunung iihhh ^o^.. keke dan nai aja kuat, berarti aku harus kuat :D..
ReplyDeleteKalo aku justru lbh suka liat sunrise mba.. masih keinget sunrise di sikunir dulu, cakeeeeeppp.... kalo sunset mah buatku biasa aja..pernah ngeliat di danau tonle siamrep, ama di pantai bali, buatku ga istimewa sih ya.. masih jauuuh lebih merinding kalo ngeliat matahari naik :)
jadi, dong hehehe
DeleteSama saya juga suka sunrise. Cuma ya itu, deh. Suka susah bangun pagi hahaha
enak banget ya kemping bawa chef :) Nay keren pingin nyobain dong masakannya, mudah2an di baca sama Nay
ReplyDeleteayo kalau gitu harus camping sama Nai :D
DeleteKeren pisan ngebolangnya gak tanggung2. Itu peralatan masak bawa sendiri Chi?
ReplyDeleteiya :)
DeleteTerima kasih untuk kunjungannya. Saya akan usahakan melakukan kunjungan balik. DILARANG menaruh link hidup di kolom komentar. Apabila dilakukan, akan LANGSUNG saya delete. Terima kasih :)